Maju dan Serang: Begitulah Cara Negara Melihat Orang Papua
THE PAPUA TIMES
Ketika melihat poster demonstrasi tersebar di media sosial, hal pertama yang saya lakukan adalah memeriksa tanggal aksi dan mencatatnya.
Setelah itu, saya mengikuti perkembangan demonstrasi melalui media sosial, memantau dan kemudian menulis tanggapan terkait aksi yang sudah berlangsung. Beberapa hal yang saya perhatikan adalah organisasi, front, atau aliansi yang memimpin aksi, tuntutan yang diajukan, serta respons TNI dan Polri dalam menghadapi massa. Begitulah, dari tempat tinggal saya—tempat yang dijuluki sebagai “gulag” Papua, tempat di mana keberanian saja tidak cukup; seseorang harus memiliki kegilaan untuk bertahan.
“Rapat… maju… serang… serang… bajingan ko!” teriak seorang pria di barisan Polisi saat mereka maju menghalau demonstran yang mencoba keluar dari kampus Universitas Cenderawasih (Uncen). Video ini direkam oleh seseorang yang berdiri di belakang barisan Polisi dan kemudian diunggah oleh Petisi Rakyat Papua (PRP) di laman Facebook mereka.
PRP adalah front yang menaungi 122 organisasi Papua dan tiga organisasi solidaritas untuk West Papua. Dibentuk oleh para pemuda Papua dari berbagai organisasi, PRP bertujuan menolak perpanjangan Otonomi Khusus (Otsus), penolakan Daerah Otonom Baru (DOB), serta menuntut referendum sebagai solusi demokratis bagi bangsa Papua. Front ini diresmikan pada 4 Juli 2020 di Jayapura dengan semangat perjuangan yang sama.
Penanganan demonstrasi di Papua berbeda dari daerah lain. Di Papua, penanganan aksi terkesan “khusus,” tetapi bukan dalam arti yang baik. Perlakuan aparat, mulai dari intimidasi hingga tindakan represif, selalu menjadi respons terhadap aksi damai yang menolak DOB, Otsus, dan menuntut referendum.
Aksi PRP pada 10 Mei dan 3 Juni 2022 dihadapi dengan tindakan represif oleh TNI dan Polri, yang turun langsung ke lapangan. Aparat tak segan menggunakan water cannon, gas air mata, peluru karet, bahkan peluru tajam dalam menindak massa. Contoh paling jelas terjadi pada aksi 10 Mei di Jayapura, ketika massa aksi yang sedang orasi damai tiba-tiba disemprot dengan water cannon, disusul dengan seruan “maju, serang” dari barisan Polisi, menyebabkan demonstran terluka.
Aksi serupa pada 3 Juni 2020 juga berakhir dengan kekerasan, di mana beberapa demonstran terluka, termasuk seorang perempuan Papua bernama Rita Tenau, yang terkena tabung gas air mata hingga wajahnya berlumuran darah. Rekaman kekerasan ini tersebar di media sosial, menunjukkan bagaimana militer Indonesia bertindak brutal terhadap warga sipil yang hanya ingin menyuarakan hak mereka.
Setiap kali melihat video seperti itu, keyakinan saya semakin kuat bahwa pemerintah Indonesia menindas rakyat Papua. Polisi dan tentara yang ditempatkan di Papua tampak lebih seperti preman berseragam daripada aparat yang menegakkan hukum. Tindakan mereka jauh dari aturan yang seharusnya melindungi hak warga negara. Sebenarnya aturan itu ada, tapi penerapannya sangat tergantung pada siapa yang dihadapinya. Bagi rakyat Papua, aturan itu sering kali tak berlaku.
Apa yang dilakukan militer di Papua mencerminkan bagaimana negara memandang orang Papua—bukan sebagai manusia yang bernilai, melainkan hanya sebagai entitas yang ada untuk melayani kepentingan pemerintah.