Referendumkan DOB: Jakarta dan Elit Papua Berani?
THE PAPUA TIMES
Setiap langkah perjuangan harus menghasilkan kemajuan, walau hanya satu langkah. Langkah awal kemenangan rakyat dalam menolak Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua adalah melalui referendum internal.
Pemekaran DOB di Papua tampaknya akan terjadi setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan Surat Presiden (Supres) terkait DOB di Papua, yang telah diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Hal ini dikonfirmasi oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM, Mahfud MD, yang menyatakan bahwa pemerintah telah menyerahkan Supres tersebut kepada DPR.
Mahfud MD mengabaikan aksi protes masyarakat Papua terkait DOB, memperkuat sinyal bahwa pemekaran ini akan dilanjutkan. Tiga provinsi baru yang diusulkan sebagai DOB di Papua adalah Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah, dengan kemungkinan Papua Barat Daya akan menyusul. Ironisnya, pemekaran ini dipaksakan, meskipun tidak ada permintaan dari rakyat.
Rakyat Papua tidak pernah turun ke jalan untuk meminta wilayah mereka dipecah-pecah oleh pemerintah Indonesia. Sebaliknya, ribuan rakyat Papua telah menggelar aksi protes, menolak pembagian wilayah mereka meskipun dihadang oleh aparat keamanan yang dilengkapi dengan senjata. Penolakan ini mencerminkan ketidakpuasan mendalam terhadap pemaksaan DOB.
Pemaksaan DOB oleh pemerintah terjadi setelah revisi kedua UU Nomor 21 Tahun 2001, yang ditolak oleh lebih dari 700 ribu rakyat Papua melalui Petisi Rakyat Papua (PRP). Namun, DPR RI tetap mengesahkan revisi tersebut dalam rapat paripurna pada 15 Juni 2021, tanpa memperhatikan aspirasi rakyat Papua yang disampaikan melalui PRP.
DOB didorong oleh segelintir elit yang haus kekuasaan dengan dalih pembangunan. Strategi ini, yang awalnya diinisiasi oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, bertujuan untuk meredam gerakan kemerdekaan Papua. Setelah mendapat penolakan dari masyarakat, Tito mulai melibatkan para elit politik Papua untuk mendukung pemekaran ini, yang pada akhirnya menambah perpecahan di antara rakyat.
Deklarasi dukungan DOB oleh elit politik Papua dilakukan di tengah penolakan luas dari masyarakat. Pemekaran ini diperkirakan akan memicu konflik sosial yang signifikan, terutama dengan meningkatnya migrasi penduduk dari luar Papua. Ketidakadilan dalam birokrasi dan ekonomi dapat memicu rasa ketidakpuasan dan pemberontakan di kalangan rakyat Papua, yang merasa terpinggirkan di tanah mereka sendiri.
Konflik horizontal ini akan muncul di wilayah-wilayah yang dimekarkan secara paksa, sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Pendeta Dora Balubun. Pemekaran hanya akan menambah konflik, bukan menjadi solusi. Untuk menghindari konflik ini, sebaiknya pemerintah melakukan referendum internal sebagai langkah politik yang adil dan demokratis, memberikan kesempatan kepada rakyat Papua untuk menyuarakan pendapat mereka.
Referendum internal dapat meminimalisir konflik karena pihak yang kalah akan lebih cenderung menerima hasil dengan konsekuensi logis. Namun, jika referendum internal tidak dilakukan dengan alasan biaya atau ketakutan terhadap tuntutan referendum eksternal, maka konflik horizontal yang dikhawatirkan akan menjadi kenyataan dan menghambat tujuan pembangunan.
Para elit politik Papua yang mengklaim mewakili rakyat seharusnya lebih kritis terhadap pemekaran. Mereka perlu mempertanyakan apakah DOB akan membawa berkah atau malah menjadi kutukan bagi masyarakat asli Papua, mengingat mayoritas rakyat tidak pernah meminta pemekaran ini.
Pertanyaan ini harus diperdebatkan secara terbuka di forum-forum resmi, terutama di parlemen, dan hasil perdebatan harus disampaikan kepada Presiden. Rakyat Papua harus dilibatkan dalam proses ini agar aspirasi mereka tidak dimanipulasi oleh elit yang mengemis DOB kepada pemerintah pusat.
Akhirnya, elit politik Papua harus bersikap tegas dalam menghadapi Jakarta dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Jika pemerintah ingin mengetahui keinginan rakyat Papua terkait DOB, referendum internal adalah solusi yang tepat dan bermartabat, bukan deklarasi sepihak yang hanya akan memicu konflik berkepanjangan.