FOMO Hingga Dinamika Psikologis Mahasiswa Papua di Perantauan
THE PAPUA TIMES
Di abad ke-21 ini, kita dihadapkan pada tuntutan untuk selalu aktif di dunia digital. Keterlibatan penuh dalam berbagai platform media sosial sudah menjadi bagian dari keseharian, baik bagi mereka yang sedang menempuh pendidikan maupun yang sudah bekerja.
Pertanyaannya, apakah ketergantungan pada dunia digital akan menggeser esensi kita sebagai manusia? Kierkegaard pernah menyatakan bahwa tujuan utama dari eksistensi manusia adalah menghindari kebosanan. Dengan kemajuan digitalisasi, apakah kita sudah mencapai tujuan itu? Jawabannya bisa bervariasi. Namun, jelas bahwa kehidupan yang erat kaitannya dengan dunia digital membawa dampak positif dan negatif, terutama dalam hal bagaimana kita menjalani eksistensi di era serba digital ini.
Belajar, bekerja, dan bersosialisasi yang kini dilakukan secara virtual tentu berdampak pada kondisi psikologis kita. Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari dua tahun telah memaksa banyak orang yang sebelumnya tidak aktif di media sosial untuk terlibat lebih dalam. Kehidupan digital menjadi pilihan yang tak terhindarkan. Mahasiswa Papua yang berada di perantauan menghadapi tekanan psikologis lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tinggal di Papua. Di kota besar, dengan akses internet yang cepat, mereka cenderung terjebak dalam kebiasaan menghabiskan waktu di media sosial, yang kadang berdampak pada produktivitas mereka. Sebaliknya, mahasiswa Papua di tanah air lebih jarang menghadapi tekanan semacam ini karena akses internet yang lebih terbatas, sehingga mereka hanya menggunakan internet saat benar-benar dibutuhkan.
Tekanan psikologis yang dialami oleh mahasiswa Papua di perantauan seringkali terkait dengan fenomena Fear of Missing Out (FOMO). FOMO adalah perasaan takut ketinggalan informasi atau tren yang terjadi di media sosial, seperti Facebook, Instagram, atau Twitter. Mahasiswa yang mengalami FOMO sering merasa cemas, gelisah, dan bahkan mengalami gejala fisik seperti detak jantung cepat atau sakit kepala. Perasaan ini mendorong mereka untuk terus terlibat di media sosial, meskipun hal itu tidak selalu membawa manfaat positif.
FOMO bukanlah fenomena yang hanya dialami oleh mahasiswa. Menurut VeryWellMind, orang yang mengalami FOMO cenderung memiliki tingkat kepuasan hidup yang rendah karena terus membandingkan diri mereka dengan orang lain. Gejala FOMO dapat dikenali melalui beberapa tanda, seperti kebiasaan mengecek ponsel secara berlebihan, lebih peduli dengan dunia maya daripada dunia nyata, selalu ingin tahu kehidupan orang lain, dan membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan hanya agar tidak ketinggalan tren. Jika dibiarkan, FOMO dapat menyebabkan stres, kelelahan, masalah tidur, hingga gangguan finansial.
Mahasiswa Papua di perantauan, terutama yang tinggal di kota-kota besar, seharusnya bisa memanfaatkan fasilitas yang ada untuk mengembangkan potensi diri, bukan tenggelam dalam tekanan FOMO. Beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengurangi FOMO antara lain: fokus pada diri sendiri, membatasi penggunaan media sosial, menjalin relasi yang nyata dan berkualitas, serta menghargai diri sendiri dengan menyadari potensi yang dimiliki. Selain itu, penting juga untuk menekuni skill baru yang dapat memberikan dampak positif tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi masyarakat luas.
Dengan mengurangi FOMO dan memanfaatkan fasilitas yang ada dengan bijak, mahasiswa Papua di perantauan dapat pulang ke tanah air dengan membawa ilmu dan keahlian yang berguna, bukan sekadar gelar yang kosong.