Akankah Bangsa Papua Ikut Menyanyikan Lagu Indonesia Raya?
THE PAPUA TIMES
Hanya tinggal hitungan hari menjelang 17 Agustus, sebuah tanggal bersejarah yang menandai proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1945. Pada tahun 2022 ini, Indonesia akan merayakan ulang tahun kemerdekaannya yang ke-77.
Seperti biasanya, dua kegiatan utama yang akan dilaksanakan secara serentak di seluruh penjuru negeri adalah pengibaran bendera merah putih dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dari Sabang sampai Merauke, bendera merah putih sudah mulai berkibar di rumah-rumah, jalanan, sekolah, dan perkantoran.
Dalam merayakan peristiwa bersejarah ini, saya teringat sebuah tulisan dari Dr. Pdt. Sokrates Yoman yang dipublikasikan beberapa waktu lalu di media sosial. Dalam artikel tersebut, ia menceritakan pengalamannya pada tahun 2017 ketika ia memilih untuk tidak ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya. Yoman beralasan bahwa rakyat Papua adalah bangsa yang otonom, memiliki sejarah sendiri, dan oleh karena itu tidak merasa perlu menyanyikan lagu kebangsaan yang dianggap sebagai simbol kolonialisme.
Sekilas, pandangan ini mungkin menimbulkan berbagai tanggapan yang berbeda-beda. Ada yang berpendapat, “Papua juga bagian dari Indonesia, jadi kenapa Yoman berpikir begitu?” Di sisi lain, ada yang mendukung pendapat Yoman dengan alasan bahwa Papua memiliki sejarah yang unik dan berbeda.
Tulisan Yoman menginspirasi saya untuk mengeksplorasi lebih lanjut pertanyaan yang lebih spekulatif: “Apakah rakyat Papua layak untuk ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya pada 17 Agustus mendatang?”
Pendekatan saya berdasarkan analisis sejarah bangsa Papua. Sejarah politik Papua memiliki kekuatan untuk menjelaskan bagaimana eksistensi mereka dibentuk, karena sejarah ini didukung oleh data, fakta, serta hukum nasional dan internasional. Hal ini serupa dengan bangsa-bangsa lain yang pernah dijajah, termasuk Indonesia ketika berada di bawah kekuasaan Belanda. Pada masa itu, nasionalisme Indonesia bangkit dengan menolak menyanyikan lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus,” dan hal ini membantu memupuk semangat kemerdekaan.
Kekuatan sejarah yang sama juga berlaku dalam perjuangan bangsa Papua. Sebagai bangsa yang telah memiliki perjalanan politik panjang, rakyat Papua memiliki hak untuk mempertanyakan apakah mereka layak atau perlu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia. Ini bukan sekadar tentang menyanyikan lagu, tetapi tentang kesadaran akan sejarah, nasionalisme, dan martabat sebagai bangsa.
Sejak aneksasi Papua ke Indonesia pada tahun 1962-1963 melalui Perjanjian New York dan PEPERA tahun 1969, sejarah politik Papua selalu diperdebatkan. Ada banyak manipulasi yang terjadi, termasuk janji untuk memberikan penentuan nasib sendiri yang tidak terealisasi sesuai dengan standar internasional. Papua, yang pernah memproklamasikan kemerdekaannya secara defacto pada 1 Desember 1961, kini berada dalam kedaulatan Indonesia.
Dengan mempertimbangkan sejarah politik ini, pertanyaan apakah rakyat Papua akan menyanyikan lagu Indonesia Raya menjadi semakin kompleks. Mungkin mereka yang ikut menyanyikan lagu tersebut melakukannya karena terpaksa, atau karena tidak menyadari sejarah mereka sendiri. Ada juga mereka yang terjebak dalam narasi kolonial, sehingga merasa wajar ikut merayakan nasionalisme Indonesia.
Jadi, berdasarkan sejarah dan kesadaran politik, apakah rakyat Papua benar-benar layak atau perlu ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya pada perayaan kemerdekaan Indonesia?