Papua, Korupsi Lukas Enembe dan Kepentingan Investasi ?
THE PAPUA TIMES
Pasca penetapan Gubernur Papua, Lukas Enembe (LE) sebagai tersangka korupsi oleh KPK pada 5 September 2022 atas dugaan suap dan gratifikasi senilai Rp1 miliar, muncul perdebatan di kalangan elite, intelektual, serta aktivis hukum dan HAM di Papua.
Bagi sebagian orang, LE dipandang sebagai sosok besar yang tidak layak disebut koruptor, terutama karena mereka menganggap proses hukum yang dilalui tidak jelas. Mereka mungkin terpengaruh oleh pandangan Elpius Hugi, mantan Sekpri LE, yang menulis dalam bukunya tentang ancaman kriminalisasi yang diduga menimpa LE.
Sebagian lainnya melihat dari sudut pandang kemanusiaan yang dianggap lebih penting daripada hukum, sehingga mereka berpendapat bahwa pengadilan terhadap LE tidak etis atau bersifat sepihak. Beberapa pihak juga mengaitkan kasus LE dengan persaingan politik menjelang Pilgub 2024 di Papua, mengklaim bahwa LE sengaja dijebak oleh lawan-lawan politiknya.
Pendeta Dr. Socratez Yoman, seorang tokoh penting di Papua, menulis di Facebook pada 15 September 2022 dan menyoroti adanya konspirasi antara KPK, Kepala BIN Budi Gunawan, dan PDI-P untuk menjatuhkan LE demi kepentingan politik. Tulisan ini menjadi viral, dan banyak yang mulai melihat LE sebagai korban kriminalisasi. Dalam tulisannya, Yoman mengindikasikan bahwa LE dijebak oleh kekuatan politik yang berusaha merebut kekuasaan di Papua.
LE sendiri membantah tuduhan korupsi tersebut, mengklaim bahwa uang Rp1 miliar yang disebut sebagai gratifikasi adalah uang pribadinya, yang ia simpan dan kemudian dikirim oleh seorang kepercayaannya saat ia menjalani pengobatan. Yoman merasa memiliki tanggung jawab moral terhadap LE karena banyak karya-karyanya, termasuk buku-buku yang diterbitkannya, didukung oleh LE dan keluarganya. Hubungan inilah yang menyebabkan Yoman terlihat sangat membela LE, meskipun hal ini dapat mengaburkan objektivitasnya.
Di sisi lain, banyak aktivis Papua menuding LE sebagai pengkhianat bagi rakyatnya. Mereka menganggap kasus korupsi LE sebagai puncak dari bobroknya politik Papua, yang selama ini diselimuti oleh manipulasi dan konspirasi. Kasus ini bukan hanya mengenai LE, tetapi juga menyangkut berbagai elite politik Papua yang terlibat dalam korupsi, seperti Romanus Mbaraka dan Ricky HAM Pagawak. Kasus-kasus ini mencerminkan krisis dalam perjuangan Papua, terutama terkait kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) dan Daerah Otonomi Baru (DOB).
Bangsa Papua harus merenungkan bahwa kejadian ini mungkin merupakan “hukuman ilahi” akibat dosa-dosa masa lalu yang melibatkan eksploitasi dan penindasan terhadap rakyat kecil. LE sendiri terlibat dalam pemberian izin tambang Blok Wabu di Intan Jaya, yang menyebabkan penderitaan dan kekerasan terhadap masyarakat setempat. Banyak darah yang tertumpah akibat eksploitasi sumber daya alam ini, dan kasus-kasus seperti mutilasi warga sipil di Papua hanya menambah deretan pelanggaran kemanusiaan yang terus terjadi.
Kasus mutilasi 4 warga sipil di Timika, yang melibatkan anggota TNI, juga menjadi isu besar menjelang kunjungan Presiden Jokowi ke Papua. Kunjungan ini diduga terkait dengan negosiasi seputar saham Freeport dan tambang bawah tanah baru, yang memperlihatkan bagaimana kepentingan investasi di Papua selalu berdampak pada kehidupan masyarakat lokal. Banyak yang curiga bahwa peristiwa-peristiwa ini hanyalah pengalihan perhatian dari rencana besar terkait eksploitasi sumber daya alam Papua.
Semua ini menunjukkan bahwa konspirasi dan kepentingan ekonomi-politik yang melibatkan elite lokal, nasional, dan internasional terus mendominasi Papua. Indonesia juga sedang menghadapi krisis ekonomi akibat utang luar negeri yang terus membengkak, sehingga Papua menjadi salah satu pusat eksploitasi untuk menutupi defisit ini. Dalam konteks ini, elite-elite koruptor di Papua mungkin hanyalah “tumbal” bagi kepentingan ekonomi yang lebih besar.
Dengan berbagai kejadian ini, hukum karma, hukum alam, dan hukum ilahi tampaknya sedang bekerja untuk mengungkap kebobrokan politik di Papua. Semua pihak yang terlibat dalam penindasan dan eksploitasi terhadap rakyat Papua, mulai dari elite politik hingga militer, akan menghadapi konsekuensinya. Ini adalah saat bagi Papua untuk bersatu, bertobat, dan berjuang demi pemulihan yang sesungguhnya.