Langgar Aturan, Mengapa KPK Menetapkan LE Sebagai Tersangka Korupsi?
THE PAPUA TIMES
Gubernur Papua, Lukas Enembe (LE), ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan kasus suap dan gratifikasi terkait APBD Provinsi Papua.
Meskipun penetapan ini dilakukan sebelum LE diperiksa sebagai saksi, kasus ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Aksi demonstrasi oleh Koalisi Rakyat Papua (KRP) Save LE pada 20 September 2022 di Jayapura menuding KPK melakukan kriminalisasi dan politisasi terhadap LE. Mereka menyebut penetapan tersangka tersebut cacat hukum karena tidak melalui proses pemeriksaan yang sesuai.
Orator dalam aksi tersebut menegaskan bahwa langkah KPK tidak adil, mengklaim bahwa penegakan hukum ini lebih didorong oleh kepentingan politik daripada keadilan. KPK, melalui juru bicaranya Ali Fikri, membantah tuduhan ini dan menyatakan bahwa proses hukum terhadap LE murni tindak lanjut dari laporan masyarakat.
Beberapa orator juga membandingkan kasus LE dengan kasus besar lainnya seperti Fredy Sambo dan Harun Maziku, mempertanyakan keadilan dalam penanganan kasus-kasus ini. Namun, argumen yang membandingkan LE dengan kasus lain justru dapat diartikan sebagai pembenaran bahwa LE terlibat dalam tindak pidana korupsi yang sedang diselidiki oleh KPK.
Langkah KPK yang dianggap tidak sesuai prosedur menimbulkan pertanyaan lebih besar: mengapa KPK berani mengambil keputusan sebelum pemeriksaan saksi? Jawabannya dapat dilihat dari pola hukum dan politik di Indonesia, di mana langkah-langkah yang dilakukan terkadang tidak sesuai dengan teori hukum formal. Hal ini menunjukkan bahwa politik dan hukum di Indonesia sering kali berjalan dalam kerangka pragmatis yang melibatkan kepentingan lebih besar, terutama dalam menangani kasus di Papua.
Penetapan LE sebagai tersangka juga dapat dilihat sebagai pesan kepada pejabat lainnya di Papua. Negara ingin menegaskan bahwa penegakan hukum di Papua, terutama terkait penggunaan dana Otsus, tidak bisa diabaikan. Setelah LE, kemungkinan besar pejabat lain di Papua akan menghadapi pemeriksaan serupa.
Penetapan LE bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga mencerminkan strategi politik yang lebih luas, termasuk dalam upaya Indonesia untuk menghadapi kritik internasional mengenai Papua. Pemerintah dapat menggunakan kasus korupsi ini sebagai dalih untuk menunjukkan bahwa kegagalan pembangunan di Papua bukanlah tanggung jawab negara sepenuhnya, tetapi juga disebabkan oleh para pejabat lokal yang korup.
Kesimpulannya, kasus ini bukan sekadar masalah penegakan hukum biasa, tetapi bagian dari dinamika politik yang lebih luas di Papua. Penetapan LE sebagai tersangka, meskipun belum diperiksa sebagai saksi, mencerminkan betapa kompleksnya hubungan antara hukum, politik, dan kepentingan negara di Papua.