Teologi Freedom Yang Anti Kapitalisme : Refleksi Untuk Papua !
THE PAPUA TIMES
Kolonialisme memiliki dampak yang mendalam dan terus tertanam kuat di bekas wilayah jajahannya, yang menyebabkan terjadinya marjinalisasi di berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Hal ini terjadi pula di wilayah-wilayah seperti Amerika Latin dan Amerika Utara, yang mengalami penjajahan dari kolonialis Spanyol, Portugis, Inggris, dan Prancis. Pada abad ke-14 hingga ke-18, benua Amerika dikuasai untuk dieksploitasi, baik sumber daya alam maupun manusianya. Para penjajah menerapkan sistem kerja paksa dan perbudakan di lahan-lahan milik tuan tanah untuk memproduksi bahan mentah bernilai ekonomi tinggi, seperti kapas, jagung, kopi, dan kakao, guna memperkaya para tuan tanah melalui akumulasi modal.
Penjajahan yang berlangsung lama menyebabkan penderitaan bagi rakyat yang diperbudak, tanpa adanya penghargaan terhadap nilai kemanusiaan. Selain itu, ajaran-ajaran agama yang diubah oleh para tuan tanah juga memperparah penindasan ini. Mereka memanfaatkan doktrin Alkitab untuk melegitimasi kekuasaan mereka, dengan menyebarkan pandangan bahwa Yesus berkulit putih dan bahwa para budak harus tunduk kepada tuannya. Kebenaran agama digunakan sebagai alat penguasaan, terutama karena banyak rakyat di wilayah jajahan yang buta huruf dan tidak bisa membaca Alkitab secara langsung.
Namun, pada akhirnya, perjuangan untuk meraih kemerdekaan melawan kolonialisme dan militerisme dimulai di Amerika Latin dan Amerika Utara. Kemerdekaan diraih, tetapi perjuangan belum usai. Setelah kemerdekaan, tantangan baru muncul berupa tirani kekuasaan yang represif dan sistem yang tidak demokratis. Kudeta oleh pihak militer yang bersekutu dengan pemodal untuk menguasai sumber daya alam menyebabkan rakyat jatuh dalam kemiskinan, pengangguran, dan ketergantungan ekonomi yang semakin parah. Sistem pemerintahan yang korup dan represif menciptakan berbagai masalah, seperti tingginya angka kematian, buta huruf, serta marjinalisasi kehidupan rakyat.
Lahirnya Teologi Pembebasan di Amerika Latin dan Amerika Utara
Teologi Pembebasan muncul di Gereja Amerika Latin pada awal 1960-an sebagai respons terhadap perubahan sosial, politik, dan ekonomi. Perubahan internal di Gereja Katolik setelah Perang Dunia II, dipengaruhi oleh aliran ideologi baru dari teolog-teolog Eropa seperti Bultmann, Moltmann, dan Rahner, serta konsili Vatikan II, membuka ruang untuk pengembangan teologi baru. Sementara itu, perubahan eksternal berupa industrialisasi di Amerika Latin di bawah pengaruh pemodal multinasional memperburuk ketimpangan sosial, mempercepat urbanisasi, dan menciptakan kelas pekerja yang baru, namun termarjinalkan.
Dalam situasi ini, muncul Teologi Pembebasan yang dipelopori oleh Gustavo Gutierrez dengan bukunya Liberation Theology – Perspectives yang terbit pada 1971. Teologi ini menekankan bahwa penyelamatan bukanlah urusan pribadi semata, melainkan perjuangan kolektif untuk pembebasan dari penindasan. Orang miskin tidak boleh terus bergantung pada belas kasihan, tetapi harus bangkit memperjuangkan kebebasan mereka sendiri.
Relevansi Teologi Pembebasan untuk Persoalan Papua
Teologi Pembebasan tidak bisa diterapkan secara mentah-mentah di semua konteks, termasuk Papua. Namun, banyak kemiripan antara situasi rakyat Papua dengan situasi di Amerika Latin selama penjajahan dan perjuangan melawan penindasan. Sejak dianeksasi oleh Indonesia pada 1963, Papua mengalami penindasan, kemiskinan, pelanggaran HAM, dan ketergantungan ekonomi. Seperti di Amerika Latin, kapitalisme dan kekuasaan militer memainkan peran besar dalam penindasan ini.
Dalam konteks Papua, Teologi Pembebasan dapat berperan sebagai inspirasi untuk perjuangan rakyat melawan ketidakadilan. Refleksi teologis yang menggabungkan ajaran Alkitab dengan pemikiran revolusioner dapat membantu rakyat Papua memahami situasi mereka dan membangun kesadaran politik. Dengan dialog dan solidaritas, rakyat Papua dapat menemukan cara untuk melawan penindasan, seperti yang diungkapkan oleh Gutierrez, “Orang tak perlu menunggu datangnya penyelamat dari atas.”