Pekabaran Injil Sudah 168 Tahun dan Realita Papua Kini
THE PAPUA TIMES
“In Gottes Namen Bettraten Wir Das Land,” yang berarti “Dengan Nama Tuhan Kami Menginjak Tanah Ini,” adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh dua misionaris asal Jerman saat membawa Injil ke tanah Papua di Pulau Mansinam pada 5 Februari 1855.
Secara harfiah, Injil berarti kabar baik yang mengajarkan perdamaian, sejalan dengan keadaan masyarakat Papua di abad ke-18 yang belum sepenuhnya hidup damai antar suku. Injil yang dibawa ke Papua menjadi pembuka peradaban bagi masyarakat setempat, secara bertahap membawa mereka menuju perdamaian dan cinta kasih. Bahkan, bajak laut Papua dari suku Biak yang dahulu dikenal sebagai “Viking Papua,” yang sering merompak di perairan Maluku, berhasil ditaklukkan oleh pesan Injil.
Injil membawa transformasi besar bagi masyarakat Papua. Misionaris datang dan pergi, tetapi pesan Injil yang mereka tanam dan rawat mulai menunjukkan hasil. Namun, apa hasil dari Injil di masa kini? Apakah masih ada kabar baik bagi masyarakat Papua? Setiap tanggal 5 Februari, hari libur khusus dirayakan di Papua berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Papua Nomor 140 Tahun 2008, sebagai momen refleksi perayaan Pekabaran Injil. Namun, ada kekhawatiran bahwa makna perdamaian yang diusung oleh Injil mulai hilang dalam euforia perayaan tersebut.
Papua saat ini terbagi menjadi enam provinsi dengan status “Otonomi Khusus” yang diatur oleh UU Nomor 2 Tahun 2021. Meski diberikan otonomi, masyarakat Papua merasa hak-hak mereka belum sepenuhnya terakomodasi.
Jika kita melihat sejarah, kehadiran pemerintah Hindia Belanda di Papua terjadi setelah masuknya Injil, yaitu pada 1898, saat pos pemerintahan didirikan di Manokwari dan Fakfak. Butuh waktu 43 tahun sejak masuknya Injil hingga pembukaan pos pemerintahan. Injil yang dibawa oleh para misionaris membuka jalan bagi peradaban baru dan penaklukan masyarakat setempat, mengubah keyakinan mereka dari penyembahan roh leluhur menjadi penganut agama Kristen.
Kehadiran pemerintah kolonial dan penyebaran agama Kristen di Papua erat kaitannya dengan perluasan wilayah dan pembangunan pos administrasi. Semboyan 3G—Gold, Glory, dan Gospel—terwujud nyata di Papua, dengan orang-orang dari Barat datang untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan memperluas ajaran Kristen di wilayah ini.
Injil memang mengajarkan orang Papua untuk hidup dalam perdamaian dan kasih, membuka sekolah dan fasilitas kesehatan yang menjadi fondasi peradaban. Namun, setelah 168 tahun, meskipun Injil telah menyatu dengan masyarakat Papua, tantangan baru muncul. Gereja harus kembali menjadi garda terdepan dalam menghadapi masalah kesehatan, pendidikan, dan keadilan sosial, bukan sekadar lembaga seremonial. Gereja harus hadir untuk melayani masyarakat ketika pemerintah tidak cukup peduli.
Realitas hari ini menuntut gereja untuk lebih memperhatikan kebutuhan umat, baik dalam pendidikan maupun kesehatan, serta menjadi penghubung antara manusia dan Tuhan. Ketika masyarakat merasa gereja tidak lagi memberikan pelayanan yang relevan, kepercayaan mereka bisa memudar.
Tema HUT Pekabaran Injil ke-168, “Kasih Kristus Menggerakkan Kemandirian Gereja, Mewujudkan Keadilan, Perdamaian, dan Kesejahteraan,” mengingatkan bahwa gereja harus mandiri untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Gereja harus menjadi suara perdamaian yang aktif dalam menyelesaikan konflik di Papua, bukan hanya merayakan peringatan tanpa makna. Peran gereja sebagai penengah dan pembawa perdamaian sangat diperlukan dalam situasi konflik yang terus berlanjut di tanah Papua.