Divonis Ringan, Apakah Victor Yeimo Dapat Menggugat Hakim?
THE PAPUA TIMES
Pada hari Jumat, 5 Mei 2023, Matius SH., MH., seorang hakim yang memimpin sidang perkara dengan nomor 376/Pid.Sus/2021/PN Jap, membacakan vonis delapan bulan penjara, dipotong masa tahanan enam bulan, terhadap terdakwa.
Terdakwa tersebut adalah Victor Frederik Yeimo, Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB), yang penangkapannya menarik perhatian publik baik di Papua maupun internasional.
Vonis yang lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang meminta tiga tahun penjara ini disambut sebagai kemenangan oleh para sahabat Victor Yeimo, yang selama ini gigih meminta pembebasannya tanpa syarat. Bagi mereka, vonis tersebut adalah bukti bahwa kebenaran bisa disalahkan, namun tidak dapat dikalahkan.
Meskipun polisi berhasil menangkap Victor Yeimo, dan mungkin juga akan menangkap para pendukungnya, mereka tetap meyakini bahwa perjuangan rakyat Papua yang berlandaskan kebenaran akan menang. Vonis delapan bulan yang dijatuhkan kepada Victor, yang akrab dipanggil Viki oleh para sahabatnya, adalah bukti dari keyakinan mereka bahwa kebenaran akhirnya akan menang.
Namun, idealisme yang menguat di benak mereka diuji saat muncul fakta bahwa pasal yang digunakan untuk memvonis Victor Yeimo, yakni Pasal 155 ayat (1) KUHP, sebenarnya sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini diungkapkan oleh Latifah Anum Siregar, anggota Koalisi Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua yang mendampingi Victor Yeimo dalam kasusnya.
Latifah menyatakan, “Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jayapura menyatakan Victor Yeimo bersalah melanggar Pasal 155 ayat (1) KUHP. Padahal, pasal tersebut telah dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum oleh Mahkamah Konstitusi.” Pernyataan ini mengejutkan banyak pihak, termasuk mereka yang memandang vonis Victor sebagai kemenangan moral.
Ketika mencoba menempatkan diri sebagai Victor Yeimo, muncul dilema antara mempertahankan idealisme atau menerima vonis tersebut. Haruskah Victor mengajukan banding dan menuntut keadilan yang lebih tinggi, atau menerima vonis ringan demi kebebasan segera? Dalam hati, ada bisikan bahwa menerima vonis tanpa melawan adalah bentuk pengkhianatan terhadap idealisme dan perjuangan.
Dalam situasi ini, muncul kesadaran bahwa Victor Yeimo dihadapkan pada pilihan sulit. Jika dia menerima vonis tersebut, seolah-olah dia mengakui keabsahan hukum kolonial yang selama ini ia lawan. Namun, jika dia melawan, dia akan menunjukkan bahwa meskipun menghadapi sistem hukum yang rasis, perjuangan untuk kebenaran tetap harus dijalani.
Sebuah pertanyaan besar tersisa: Apakah Victor Yeimo akan melakukan banding, atau menerima vonis ringan tersebut? Apa pun pilihan yang diambil, hal ini akan menjadi ujian bagi komitmen terhadap prinsip keadilan dan kebebasan yang diperjuangkan oleh orang Papua.