Papua , Victor Yeimo, Kriminalisasi Pasal Makar, dan Perjuangan RPMR
THE PAPUA TIMES
“Mengapa penyelesaian Konflik Aceh melalui perundingan damai, sementara untuk Konflik Papua jawabannya adalah senjata dan penjara?” – Victor Yeimo dalam sidang pembelaan (pledoi) pada 4 Mei 2023.
Peran Victor Yeimo
Nama Victor Fredrik Yeimo sudah dikenal luas di kalangan aktivis Papua Merdeka dan pejuang pro-demokrasi di Indonesia.
Pertama kali saya melihat Victor dari jarak sekitar 50 meter, pada 15 atau 16 Agustus 2019, beberapa hari sebelum pecahnya aksi rasisme di Jayapura pada 19 Agustus 2019. Saat itu, Victor hadir sebagai pembicara di kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Cenderawasih (Uncen).
Victor mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa, “Tanggal berapa Theys dibunuh?” sambil memegang topi bertuliskan “LAWAN” sebagai hadiah bagi yang bisa menjawab. Tidak ada mahasiswa, termasuk saya, yang bisa menyebutkan tanggal kematian Theys dengan lengkap.
Theys Eluay, pemimpin Presidium Dewan Papua (PDP), tewas dibunuh oleh Kopassus, dan perjuangan Theys menginspirasi Victor untuk terlibat lebih dekat dengan pergerakan Papua.
Namun, tak lama setelah Victor mulai berbicara, Dekan FISIP memasuki aula dan marah besar dengan kehadiran Victor. Reaksinya membuat saya penasaran: “Siapa orang ini hingga bisa membuat seorang dekan begitu marah?” Setelah PKKMB, saya mencari tahu lebih lanjut dan mengetahui bahwa Victor adalah aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB), organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Papua secara damai.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, tepatnya 19 Agustus 2019, pecah aksi rasisme di Jayapura. Ribuan orang turun ke jalan, dan Victor berorasi di depan ribuan massa, termasuk pejabat pemerintah Papua. Orasi Victor dengan semangat menyuarakan perlawanan terhadap rasisme dan penindasan terhadap rakyat Papua.
Namun, orasi tersebut justru dijadikan dalih oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menjerat Victor dengan pasal makar. Jaksa bahkan mempertanyakan hubungannya dengan Benny Wenda dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Victor pun masuk dalam daftar pencarian orang sejak 9 September 2019.
Penangkapan Victor dan Tuntutan Hukum
Pada 9 Mei 2021, Victor ditangkap oleh Satgas Nemangkawi tanpa surat perintah. Ia ditahan di Mako Brimob dalam kondisi yang tidak manusiawi, hingga kesehatannya memburuk. Butuh tekanan publik dan advokasi dari banyak pihak agar Victor mendapatkan perawatan medis yang layak.
Victor kemudian dihadapkan pada serangkaian persidangan, di mana ia didakwa dengan sejumlah pasal makar dan penghasutan. Meski dihadirkan beberapa saksi oleh JPU, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan keterlibatan Victor dalam aksi kekerasan.
Dalam pledoi-nya, Victor menekankan bahwa ia hanya memperjuangkan kesetaraan dan keadilan sosial. Dia mempertanyakan mengapa perjuangan damai dan menolak rasisme malah dijawab dengan senjata dan penjara.
RPMR: Gerakan Rakyat Papua Melawan Rasisme
Pada 14 Januari 2023, lahirlah gerakan Rakyat Papua Melawan Rasisme (RPMR) di Jayapura, yang mendukung pembebasan Victor dan menolak segala bentuk rasisme. Gerakan ini melakukan aksi bisu, mimbar bebas, dan diskusi secara konsisten untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialami Victor.
Vonis delapan bulan yang dijatuhkan kepada Victor pada 5 Mei 2023, meski lebih ringan dari tuntutan, tetap dipandang sebagai kemenangan kecil dalam perjuangan besar membebaskan Papua dari ketidakadilan.
Penutup
Penjara fisik mungkin bisa membatasi tubuh, tetapi tidak akan pernah bisa membungkam mimpi besar Papua Merdeka. Jika kita tidak mampu membebaskan satu pejuang dari penjara, bagaimana mungkin kita berharap bisa membebaskan 10.000 rakyat dari penjara besar yang bernama penindasan?