Konflik Agraria Papua Pasca Penerapan DOB
THE PAPUA TIMES
Urgensi Kebijakan Perlindungan, Pelibatan, dan Penyelesaian Konflik Sumber Daya Alam Papua dalam Menangkal Pelanggaran HAM Berat di Papua
Pendahuluan
Penerapan kebijakan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) melalui UU Nomor 2 Tahun 2021 telah menimbulkan dampak signifikan, terutama di sektor agraria. Hal ini tercermin dari dua konflik agraria besar yang terjadi di Papua: pro dan kontra terkait penempatan Kantor Gubernur Papua Pegunungan di Wamena, serta konflik horizontal antara suku Lani dan Mee di Distrik Uwapa, Topo, Nabire, yang disebabkan oleh transaksi tanah adat yang dilakukan oleh pihak yang bukan pemilik sah tanah adat tersebut.
Kedua konflik ini menjadi contoh awal dari dampak negatif DOB di Papua. Konflik yang melibatkan masyarakat adat, pemerintah, dan sesama masyarakat adat Papua ini menunjukkan potensi masalah yang lebih besar di masa depan, terutama jika pemerintah dan perusahaan mulai terlibat langsung dalam pengelolaan sumber daya alam tanpa melibatkan masyarakat adat pemilik hak.
Konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat dan perusahaan ini tidak lepas dari agenda ekonomi-politik terkait eksploitasi sumber daya alam di Papua, yang telah tertuang dalam program-program nasional seperti Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2009 dan Proyek Strategis Nasional (PSN) 2014. Proyek-proyek besar ini sering kali dilakukan tanpa melibatkan masyarakat adat, dan hanya akan semakin marak seiring dengan kebutuhan provinsi dan kabupaten baru untuk meningkatkan pendapatan daerah.
Dengan ancaman nyata dan potensi konflik yang semakin besar, diperlukan kebijakan yang jelas untuk melindungi sumber daya alam milik masyarakat adat Papua, mengatur pemanfaatan yang adil, serta menyelesaikan konflik yang muncul dengan bermartabat.
Pembahasan
- Perlindungan Sumber Daya Alam Papua Milik Masyarakat Adat
Konstitusi Indonesia, melalui Pasal 18b ayat (2) UUD 1945, mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak mereka. Hal ini dipertegas oleh UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua.
Berdasarkan landasan hukum ini, pemerintah daerah di Papua, khususnya Majelis Rakyat Papua (MRP), harus memfasilitasi pemetaan wilayah ulayat adat dan pendataan sumber daya alam di setiap wilayah adat. Mulai dari kayu, air, tambang, hingga satwa, semua potensi alam harus diidentifikasi. Namun, yang paling penting untuk dilindungi adalah tanah dan air, karena keduanya merupakan warisan penting yang mengikat masyarakat adat secara turun-temurun.
Setelah pendataan, diperlukan penyusunan naskah akademik yang dapat menjadi dasar kebijakan daerah guna melindungi sumber daya alam masyarakat adat Papua.
- Pemanfaatan Sumber Daya Alam Papua
UU Nomor 2 Tahun 2021 juga mengatur agar masyarakat adat Papua dilibatkan dalam setiap kontrak antara pemerintah dan investor. Pemanfaatan tanah ulayat harus dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat adat.
Pemerintah daerah perlu menyusun regulasi yang memastikan peran dan hak masyarakat adat dalam pemanfaatan sumber daya alam. Dalam regulasi tersebut, harus dijelaskan hak dan kewajiban pemerintah sebagai fasilitator, investor, dan masyarakat adat. Hal ini penting agar pemerintah tidak lagi berperan seolah-olah sebagai pemilik tanah adat, seperti yang terjadi pada kasus PT Freeport di masa lalu.
Tujuan utama dari regulasi ini adalah menempatkan masyarakat adat sebagai pemilik sah sumber daya alam Papua yang harus dihormati dan dihargai oleh semua pihak.
- Penyelesaian Konflik Sumber Daya Alam Papua
Dua kasus konflik agraria di Wamena dan Nabire menunjukkan bahwa konflik sumber daya alam di Papua dapat memicu pelanggaran HAM berat. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme penyelesaian konflik yang adil, netral, dan bermartabat.
Selain sistem hukum yang ada, seperti peradilan pidana dan perdata, Papua membutuhkan sistem peradilan adat yang melibatkan tokoh-tokoh adat yang diakui oleh masyarakat setempat. Penyelesaian konflik ini juga harus melibatkan Dewan Adat Papua (DAP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk memastikan keputusannya adil dan menguntungkan semua pihak.
Kesimpulan
Konflik sumber daya alam di Papua semakin nyata pasca pemekaran DOB. Dengan melihat kepemilikan tanah adat yang sakral serta praktik pemberian izin yang tidak melibatkan masyarakat adat, risiko konflik agraria yang lebih besar di masa depan sangat tinggi.
Diperlukan kebijakan perlindungan, pemanfaatan, dan penyelesaian konflik sumber daya alam yang tegas untuk menghindari terjadinya konflik berkepanjangan. Jika tidak, Papua berisiko mengalami konflik agraria yang lebih luas, yang pada akhirnya dapat memicu pelanggaran HAM berat, seperti yang terjadi dalam kasus Wasior Berdarah.