Pancasila Tidak Dapat Dijadikan Alat Pengaturan di Papua
THE PAPUA TIMES
Stigma Pancasila sebagai “ideologi” negara dan penekanan status “final” pada Pancasila cenderung lebih memicu kecemasan psikologis daripada memberikan kepastian dan keadilan.
Penekanan pada status final justru membatasi ruang demokrasi, padahal demokrasi berkaitan dengan pembatasan kekuasaan dalam suatu negara. Menurut Rocky Gerung, Pancasila sebagai “ideologi negara” seharusnya dipahami hanya sebagai “ide penuntun” dan bukan “ide pengatur” [1]. Pancasila kerap digunakan sebagai alat politik untuk mengatur ketertiban warga negara yang berbeda pandangan.
Selama era Orde Lama, Pancasila menjadi alat indoktrinasi ideologi melalui program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), yang menciptakan kultus terhadap Soekarno sebagai pemimpin revolusioner. Publik diarahkan untuk menyamakan Soekarno dengan Pancasila, nasionalisme, dan revolusi sebagai semangat Orde Lama untuk meredakan kecemasan sosial. Berbeda dengan Orde Lama, di era Orde Baru, Pancasila dilihat sebagai modal pembangunan di mana Soeharto memanfaatkan Pancasila untuk menjaga stabilitas pembangunan bangsa. Kecemasan yang muncul membuat Pancasila digunakan sebagai alat pengendalian ideologi, politik, budaya, agama, dan pers. Akhirnya, Pancasila sebagai ideologi negara menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan.
Pancasila juga dinyatakan final dan dijadikan landasan dalam menertibkan warga negara, namun hal ini lebih sering mendatangkan ketidakpuasan daripada kebahagiaan. Pelajaran bisa dipetik dari kasus Aceh dan Papua, dua wilayah dengan status Otonomi Khusus (Otsus) yang terjebak dalam polemik ideologis yang paradoks dengan Pancasila sebagai filsafat sosial. Sebagai “ideologi negara” dan “modal politik,” Pancasila justru menimbulkan konflik ideologis, politik, sosial, budaya, dan agama, terutama di wilayah Papua yang kompleks.
Dualisme ideologis di Papua menimbulkan ketegangan sejak 1961, dengan Papua Barat yang berusaha meraih kebebasan sebagai tanggapan terhadap sejarah yang dianggap dipalsukan. Sejak Tri Komando Rakyat (Trikora) pada tahun 1961 hingga Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, Papua merasa sejarahnya dimanipulasi. Masyarakat Papua telah memiliki nasionalisme sendiri dengan simbol-simbol kebangsaan, yang membuat mereka menganggap diri telah merdeka sebelum intervensi Indonesia. Hal ini menciptakan dualisme nasionalisme, di mana nasionalisme Papua tetap hidup meskipun diredam oleh nasionalisme Indonesia.
Melalui Trikora, Soekarno berusaha memobilisasi dukungan untuk mengindonesiakan Papua dengan mengusir Belanda. Narasi bahwa Indonesia membebaskan Papua dari penjajah Belanda digunakan untuk memadamkan nasionalisme Papua. Namun, orang Papua merasa tidak dijajah oleh Belanda, dan semangat kemerdekaan mereka justru lahir setelah Belanda meninggalkan Papua. Papua akhirnya melihat Indonesia sebagai penjajah baru, sehingga perjuangan untuk menentukan nasib sendiri terus muncul di berbagai bidang.
Dalam konflik ini, Pancasila digunakan oleh negara untuk meredakan kecemasan psikologis di Papua melalui tiga cara: sebagai alat indoktrinasi ideologis, sebagai modal pembangunan, dan sebagai penguat persatuan. Namun, semangat persatuan ini sering kali tidak memperhitungkan identitas antropologis masyarakat Papua sebagai Melanesia, bukan Melayu, sehingga persatuan yang diupayakan sering tidak berhasil.
Pada akhirnya, Pancasila menjadi alat politik untuk mengontrol pikiran publik di Papua, yang berlawanan dengan prinsip demokrasi yang menjunjung kebebasan berpikir. Pancasila seharusnya menjadi panduan dalam menjaga kebebasan berpikir dan bukan sebagai alat pengendalian ideologis. Dengan demikian, dialog menjadi kunci untuk menyelesaikan konflik ini, menciptakan keadilan sosial, dan mempertemukan dua identitas yang berbeda.