Mengeksplore Naluri Resiliensi Pada Zeno
THE PAPUA TIMES
Pertama, tulisan ini muncul dari keinginan untuk mencari dan menemukan alternatif lain untuk mengatasi stres, kecemasan, depresi, serta masalah mental lainnya.
Saya mencoba menuangkan gagasan ini sebagai bagian dari upaya menemukan cara lain untuk menangani tantangan-tantangan tersebut.
Kedua, saya menyadari bahwa tulisan ini memiliki kekurangan dalam literasi tentang Zeno. Namun, meskipun terbatas, saya tetap tertarik untuk menggali lebih jauh tentang siapa Zeno, dengan menempatkan “resiliensinya” dalam konteks kebangkitannya dari keterpurukan.
Zeno adalah seorang pemikir sekaligus pendiri filsafat Stoisisme, yang muncul setelah melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Pemikiran Stoisisme ini kembali dibangkitkan dan dikembangkan di abad ke-21 setelah sekian lama terlupakan. Zeno menyatakan dengan jujur bahwa kebahagiaan sejati terletak pada kesehatan pikiran; pikiran seseorang harus bebas dari segala penyakit mental. Baginya, hanya pikiran dan jiwa yang dapat dikendalikan oleh individu. Zeno juga memahami bahwa kehidupan tidak bisa terlepas dari kontradiksi, terutama antara keinginan individu dan realitas yang tidak dapat dikendalikan. Oleh karena itu, dia mengusulkan banyak alternatif untuk menghadapi masalah, salah satunya melalui perubahan persepsi. Menurut Zeno, jiwa dan pikiran adalah kunci kebahagiaan manusia dan merupakan harta yang ada di bawah kendali setiap individu.
Dalam tulisan ini, saya tidak membahas Stoisisme secara umum, tetapi lebih tertarik pada pribadi Zeno yang berhasil bangkit dari keterpurukan dan menemukan kebahagiaan dengan menjadi guru filsafat di Athena. Zeno, sebagai seorang filsuf, melewati masa-masa yang sulit, terutama setelah kehilangan kekayaannya sebagai pedagang yang sering bepergian antar pulau dengan kapalnya.
Tentang Zeno
Zeno adalah seorang pedagang kaya dari Siprus yang melakukan perjalanan ke berbagai pelabuhan di abad ke-3 SM untuk berdagang. Namun, dalam suatu perjalanan melintasi Laut Mediterania, kapalnya karam, dan ia kehilangan semua barang dagangannya. Terjebak dalam kondisi miskin di kota Athena, Zeno menemukan buku “The Memorabilia” yang memperkenalkannya pada pemikiran Socrates.
Tertarik dengan filsafat Socrates, Zeno memutuskan untuk belajar lebih dalam, dan bertemu dengan Crates dari Thebes, seorang filsuf Sinis. Setelah belajar dari Crates, Zeno mulai mengajar di sebuah teras besar yang disebut Stoa Poikile di Athena, tempat ia kemudian mengembangkan ajaran Stoisisme.
Resiliensi
Zeno menghadapi kemalangan besar, termasuk kehilangan harta dan terjebak di kota yang asing. Namun, ia menerima kenyataan itu sebagai bagian dari kehidupan yang tidak bisa ia kendalikan. Ia menyadari bahwa semua harta bersifat sementara dan bisa hilang kapan saja. Kesadaran ini membuatnya bangkit dari keterpurukan, menunjukkan kemampuan resiliensi yang luar biasa.
Resiliensi, menurut para ahli, adalah kemampuan untuk bangkit dari kesulitan, beradaptasi, dan mengembangkan diri meskipun dalam tekanan. Zeno menunjukkan resiliensi ini melalui kemampuannya mengendalikan pikiran dan emosinya dalam menghadapi kesulitan, serta kemampuannya untuk terus belajar dan mengembangkan diri.
Pengukuran Adversity Quotient Pada Zeno
Kemampuan Zeno dalam menghadapi kesulitan dapat diukur dengan Adversity Quotient (AQ) berdasarkan empat dimensi: kontrol, kepemilikan, jangkauan, dan ketahanan. Zeno mampu mengendalikan situasi, menanggung akibatnya, membatasi dampak masalah, dan bertahan dengan membuat solusi yang cerdas.
Zeno juga menunjukkan kemampuan untuk beradaptasi dengan kenyataan hidup, sambil mempertahankan harapan dan keyakinan akan masa depan yang lebih baik. Harapan inilah yang menjadi pendorong bagi Zeno untuk terus maju dan membangun kembali kehidupannya sebagai seorang filsuf.