Politik Ekonomi Rasisme Ke Papua
THE PAPUA TIMES
Sekilas, isu rasisme di Indonesia tampak masih didominasi oleh diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa.
Namun, setelah reformasi, diskursus tentang rasisme terhadap orang Papua mulai mendapatkan perhatian, terutama bersamaan dengan gerakan Black Lives Matter di Amerika Serikat. Diskusi ini mulai muncul secara lebih luas, dengan beragam perspektif mencoba mendefinisikan praktik serta realitas keras yang dialami oleh masyarakat Papua. Meski begitu, perdebatan mengenai rasisme terhadap Papua seringkali hanya terfokus pada warna kulit hitam sebagai indikator utama diskriminasi. Artikel ini ingin mengkritisi pandangan tersebut, dengan penulis berbagi pengalaman sebagai orang Flores yang memiliki tampilan fisik serupa dengan orang Papua, dan mencoba memberikan sudut pandang baru untuk memahami rasisme di Indonesia terhadap Papua.
Rasisme Indonesia dan Isu ‘Kulit Hitam’
Secara umum, diskursus rasisme terhadap Papua kerap dipahami sebagai diskriminasi berbasis warna kulit hitam orang Papua. Penulis memiliki pandangan berbeda, bahwa rasisme terhadap Papua tidak semata-mata tentang warna kulit. Sebagai orang Flores yang berkulit hitam, penulis juga mengalami celaan dan diskriminasi, namun pengalaman menunjukkan bahwa rasisme terhadap Papua memiliki kekhususan tersendiri. Misalnya, ibu penulis pernah menyatakan bahwa meskipun kulit penulis hitam, setidaknya tidak sehitam orang Papua. Bahkan dalam lingkungan pergaulan sesama orang Flores, hal serupa sering menjadi bahan pembicaraan. Pengalaman penulis yang mencoba berbaur dengan teman-teman Papua di kampus juga menunjukkan adanya hambatan, meskipun tampilan fisik mirip, karena penulis masih dianggap sebagai orang luar, bukan Papua, atau lebih tepatnya, sebagai orang Indonesia. Pengalaman ini menunjukkan bahwa rasisme terhadap Papua yang hanya berbasis warna kulit adalah pendekatan yang terlalu sederhana.
Jenny Munro dalam bukunya Dreams Made Small (2018) menawarkan konsep menarik, yaitu Indonesian Gaze, yang merujuk pada persepsi dominan orang Indonesia terhadap Papua, di mana Papua dilabeli sebagai tertinggal, terbelakang, dan bodoh. Munro berargumen bahwa relasi Indonesia dan Papua ditandai dengan diskursus yang merendahkan, yang berakar pada ideologi nasional yang memprioritaskan pembangunan. Namun, pertanyaan yang muncul adalah mengapa ideologi ini lebih menargetkan Papua dan bukan daerah lain dengan latar belakang serupa seperti NTT atau Maluku? Jawaban ini bisa ditemukan melalui analisis kebijakan spesifik Indonesia terhadap Papua, terutama kebijakan transmigrasi yang mempercepat perkembangan kapitalisme di Papua. Penulis berargumen bahwa kapitalisme yang berkembang ini juga merupakan faktor penting dalam munculnya rasisme Indonesia terhadap Papua.
Kebijakan Transmigrasi dan Kapitalisme di Papua
Kebijakan transmigrasi yang menargetkan Papua mulai dijalankan secara serius pada era Suharto. Tujuan utama kebijakan ini adalah meningkatkan kondisi ekonomi di luar Jawa dan menyediakan lahan bagi para transmigran. Pembangunan infrastruktur pendukung pasar seperti irigasi, alat pertanian, dan pasar juga dibangun. Dengan latar belakang Revolusi Hijau dan pengabaian terhadap reforma agraria, Suharto lebih memilih pengembangan kapitalisme melalui transmigrasi.
Kebijakan ini tidak hanya membawa para transmigran, tetapi juga mengubah tatanan sosial dan ekonomi di Papua. Para petani transmigran dari Jawa yang bergantung pada mekanisme pasar mulai mengubah struktur ekonomi di Papua. Pembangunan infrastruktur serta klaim lahan untuk transmigrasi secara langsung menggusur masyarakat Papua dari sumber penghidupannya. Dampaknya adalah pengenalan kapitalisme ke masyarakat Papua yang sebelumnya belum sepenuhnya terintegrasi dengan sistem tersebut.
Perkembangan Pasar dan Rasisme di Papua
Perkembangan kapitalisme melalui kebijakan transmigrasi di Papua menciptakan kompetisi antara tenaga kerja transmigran dan masyarakat Papua. Di sektor privat, masyarakat Papua seringkali dipinggirkan karena pemberi kerja lebih memilih tenaga kerja dari luar yang dianggap lebih produktif. Hal ini memperkuat stereotip bahwa orang Papua malas dan tidak bisa diandalkan. Di sektor pemerintahan, orang Papua juga sering kalah bersaing dengan transmigran yang memiliki jaringan sosial lebih baik. Stereotip bahwa orang Papua kurang nasionalis dan merupakan ancaman bagi negara juga tumbuh dari pengalaman ini, memperparah eksklusi terhadap mereka.
Kekhususan Rasisme terhadap Papua
Rasisme terhadap Papua yang begitu spesifik di Indonesia harus dipahami dalam konteks sejarah integrasi Papua ke Indonesia serta kebijakan ekonomi yang meminggirkan mereka. Kebijakan transmigrasi yang masif di Papua tidak diterapkan dengan skala yang sama di wilayah lain seperti NTT atau Maluku. Kapitalisme di Papua meminggirkan masyarakat asli dan menimbulkan stereotip yang terus berkembang menjadi narasi rasisme. Warna kulit memang memiliki peran dalam realitas ini, namun artikel ini menekankan bahwa faktor ekonomi politik juga merupakan elemen penting yang harus diperhitungkan dalam memahami rasisme di Papua