Semua KategoriIndepthSosial & Harian

Dasar Monyet! Rasisme terhadap Papua

THE PAPUA TIMES

“Mengapa orang Indonesia masih menunjukkan sikap rasis terhadap orang Papua, meskipun sudah banyak artikel, video, dan diskusi yang menyatakan bahwa rasisme itu tidak masuk akal?”

“Mengapa rasisme terhadap orang Papua tetap menjadi salah satu permasalahan paling kompleks di Indonesia saat ini?”

“Sebagai negara yang kaya akan keragaman budaya dan warna kulit, bukankah rasisme seharusnya tidak mendapat tempat di Indonesia?”

Pertanyaan-pertanyaan ini sering kali muncul setiap kali insiden rasisme terhadap orang Papua terjadi. Banyak yang mencoba menjawabnya. Misalnya, beberapa berpendapat bahwa rasisme terbentuk sejak seseorang masih muda dan hidup di lingkungan yang penuh dengan pandangan-pandangan rasial. Pendapat ini menekankan bahwa norma sosial sering kali mendorong seseorang untuk menyetujui pendapat mayoritas, lalu secara individu mulai mengekspresikan sikap rasis secara lebih terbuka.

Namun, pandangan ini memiliki kelemahan besar karena hanya melihat rasisme sebagai ekspresi verbal atau tindakan pelecehan. Pada kenyataannya, rasisme bisa diekspresikan tanpa kekerasan atau intimidasi. Pendekatan ini gagal memahami bahwa rasisme juga tercermin dalam tindakan sehari-hari dan sikap yang mencerminkan cara sistem ekonomi, politik, dan institusi bekerja. Rasisme bukan sekadar tentang kata-kata atau tindakan, melainkan tentang hambatan-hambatan yang menghalangi seseorang menikmati martabat dan kesetaraan karena ras mereka.

Kesalahpahaman ini muncul karena ketidakpahaman bahwa rasisme adalah seperangkat nilai yang mencerminkan ideologi ekonomi politik. Artikel ini berupaya menjelaskan akar dan penyebab rasisme dengan pendekatan Marxis melalui analisis Frantz Fanon, seorang intelektual Karibia yang lahir di Martinique, koloni Prancis.

Kolonialisme Sebagai Akar Rasisme

Dalam bab 5 buku Black Skin, White Masks, Fanon menggambarkan pengalamannya sebagai seorang kulit hitam yang terdidik, yang berharap menemukan “dunia yang bisa dibangun bersama” saat ia beralih dari wilayah jajahan ke pusat metropolis. Namun, ia malah menemukan kolonisasi terhadap jati dirinya, yang muncul dari “mitos tertanam” yang memfetishkan ras dan menolak mengakui orang yang dijajah sebagai bagian dari kemanusiaan. Konsekuensinya, mereka yang dijajah dianggap tidak lebih baik dari binatang, seperti yang digambarkan Fanon dengan contoh segregasi antara kulit hitam di Afrika dan penjajah berkulit putih.

Pendefinisian rasisme ala Fanon, antara kaum penjajah dan terjajah, beresonansi dengan konsep Marx tentang perbedaan antara pemilik modal dan pekerja. Marx menjelaskan bagaimana kapitalisme menciptakan hubungan sosial yang terdistorsi melalui fetisisme komoditi. Fanon menerapkan konsep ini ke dalam konteks kolonialisme, di mana warna kulit menggantikan komoditas sebagai dasar nilai sosial.

Menurut Fanon, dalam masyarakat kolonial, relasi sosial didasarkan pada warna kulit, bukan uang atau komoditas. Warna kulit menjadi ukuran nilai sosial, kecerdasan, dan kemampuan. Misalnya, seorang Papua yang berpendidikan tetap dipandang rendah karena warna kulitnya.

Proses ini, menurut Fanon, dipicu oleh ketidakmampuan borjuis kapitalis untuk mendorong mekanisasi secara maksimal di wilayah koloni. Kolonialisme menciptakan bentuk perbudakan baru melalui tenaga kerja paksa dan struktur semi-feodal yang parasit, yang malah menghambat akumulasi keuntungan secara maksimal. Di dalam sistem ini, hubungan sosial hanya dilihat berdasarkan warna kulit.

Warisan kolonialisme ini menyebabkan rasisme menjadi lebih dari sekadar persoalan biologis; ia adalah alat untuk menjaga dominasi sosial dan ekonomi penjajah atas yang dijajah. Relasi ini tidak hanya tercermin dalam tindakan fisik, tetapi juga dalam cara pandang psikologis yang memperkuat rasa superioritas penjajah.

Rasisme di Indonesia terhadap Papua

Insiden rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 2019 adalah contoh nyata dari ekspresi ketakutan dan upaya untuk menegaskan dominasi atas Papua. Ketakutan ini muncul karena semakin kuatnya aspirasi kemerdekaan di kalangan anak muda Papua. Jakarta, melalui pembangunan infrastruktur dan berbagai program filantropis, gagal meredam semangat untuk menentukan nasib sendiri di Papua.

Tindakan intimidasi hanya akan berhenti jika ancaman kemerdekaan Papua mereda. Jika tidak, serangan yang lebih brutal akan menyusul, dengan restriksi yang lebih ketat terhadap kebebasan berserikat dan berpendapat. Papua harus bersiap untuk perjuangan panjang, yang melibatkan gerakan massa, solidaritas internasional, dan mungkin perjuangan bersenjata, seperti yang telah diajarkan oleh sejarah.

Berita Lainnya

Back to top button