Rekonstruksi Identitas Masyarakat Papua Melalui Pergantian Nama Tempat
THE PAPUA TIMES
Irian berubah menjadi Irian. Bagi masyarakat Papua atau mereka yang peduli terhadap perkembangan Papua, perbedaan antara kedua kata “Irian” ini jelas terlihat.
“Irian” yang berarti tanah yang bercahaya mengacu pada pulau utama Papua, sebuah nama indah untuk pulau yang indah. Sementara itu, “Irian” sebagai akronim yang diberikan pada periode 1969 hingga 1973 berarti “Ikut Republik Indonesia Anti-Netherlands,” sebuah makna yang dipaksakan secara tata bahasa karena kata yang tepat seharusnya “Belanda,” bukan “Netherlands.” Sebelum Papua menjadi bagian dari NKRI pada 1969, pulau ini dikenal sebagai Dutch New Guinea, bagian dari Kerajaan Belanda. Hingga era Presiden ketiga Indonesia, Gus Dur, nama Irian Jaya diubah menjadi Papua, yang dalam bahasa Melayu berarti rambut keriting.
Pergantian nama dari Dutch New Guinea ke Irian Barat, kemudian menjadi Irian Jaya, dan akhirnya Papua merupakan upaya rekonstruksi identitas baru bagi masyarakat Papua. Untuk menghapus memori kolektif orang Papua sebagai bagian dari Kerajaan Belanda, nama pulau ini diubah menjadi nama yang lebih nasionalis, yakni Irian. Nama ini kemudian diganti oleh Gus Dur menjadi Papua, sebuah langkah simbolis untuk memberikan identitas yang lebih sesuai dengan ciri fisik masyarakat Papua.
Nama adalah elemen pertama yang mencerminkan identitas, baik bagi individu maupun ruang hidup suatu masyarakat, seperti nama gunung, sungai, kampung, hingga negara. Dari nama, seseorang dapat mengetahui sistem pemerintahan sebuah negara, seperti Republik Indonesia atau Kerajaan Belanda. Nama juga menandai pembagian kekuasaan dan batas wilayah. Contohnya, nama marga di Papua dapat mengungkap asal-usul seseorang. Selain itu, perubahan nama sering kali berkaitan dengan perubahan kelas sosial atau identitas baru.
Pertanyaan yang kerap muncul adalah, mengapa nama-nama tempat diubah? Atau dalam konteks Papua, mengapa makna dari nama-nama ini bisa berubah, seperti kasus “Irian menjadi Irian”?
Studi yang meneliti asal-usul dan perubahan nama tempat disebut toponimi. Misalnya, nama kampung “Ambolonma” berasal dari marga Ambolon dari suku Yali, dan kata “Ma” dalam bahasa Yali berarti datang, sehingga Ambolonma berarti “Ambolon datang,” yang menunjukkan daerah marga Ambolon. Studi toponimi ini kemudian dikembangkan untuk mengeksplorasi perubahan nama yang mencerminkan kekuasaan, dengan dua pertanyaan utama: nama apa yang diubah dan siapa yang mengubahnya?
Contohnya Gunung Nemangkawi. Bagi masyarakat suku Amungme, Nemangkawi bermakna panah putih atau suci, dengan nilai religius, filosofis, dan budaya yang mendalam. Namun, nama ini telah digantikan oleh nama-nama seperti Puncak Cartenz, Ersberg, atau Grasberg, menunjukkan relasi kekuasaan oleh pemerintah dan perusahaan. Ironisnya, jika mencari “Nemangkawi” di Google, yang muncul adalah gambar-gambar militer, karena pemerintah telah menggunakan nama gunung ini untuk operasi militer.
Mengapa pemerintah mengubah nama tempat-tempat ini? Menurut Donald Emmerson dari Stanford, mengganti nama bukan hanya mencerminkan kenyataan tetapi juga menunjukkan kekuatan pemberi nama. Mengganti nama menunjukkan bahwa pihak baru yang memberi nama lebih berkuasa daripada pihak sebelumnya. Contoh paling jelas adalah perubahan nama dari Dutch New Guinea menjadi Irian, menunjukkan bahwa kontrol atas wilayah tersebut telah berpindah dari Belanda ke Indonesia.
Perubahan nama juga dapat menyebabkan interpretasi sejarah yang berbeda. Nama asli Nemangkawi, misalnya, mencerminkan nilai spiritual dan budaya, tetapi ketika diubah menjadi Grasberg, fokus orang-orang bergeser ke emas dan eksploitasi sumber daya. Hal ini menunjukkan bagaimana perubahan nama dapat menghapus identitas asli dan sejarah tempat tersebut.
Di Papua, sudah banyak nama kampung atau tempat yang berubah. Ada yang diubah demi alasan linguistik, seperti Kampung Ndumande yang menjadi Domande agar lebih mudah diucapkan. Namun, perubahan ini dapat berdampak pada hilangnya identitas asli kampung tersebut.
Studi toponimi ini penting untuk mendeteksi nama-nama yang perlu dikembalikan atau direkonstruksi sesuai pandangan masyarakat setempat. Di India, gerakan politik untuk menamai kembali tempat-tempat telah dilakukan guna menjaga interpretasi sejarah yang benar dan menghindari rasisme atau eksploitasi.
Menguatkan identitas masyarakat asli Papua harus dimulai dengan mengenali dan mempertahankan nama tempat-tempat mereka. Saat nama tempat berubah, identitas dan sejarah tempat tersebut juga perlahan menghilang dari ingatan masyarakat Papua.