Mengamalkan Ekoteologi dalam Kehidupan Bergereja di Papua
THE PAPUA TIMES
Seorang teolog bernama Jurgen Moltmann dalam bukunya Hope in These Troubled Times mengutip sebuah lelucon lama tentang masa depan bumi.
Dalam kisahnya, dua planet bertemu di luar angkasa dan saling menyapa, “Bagaimana kabarmu?” Yang lain menjawab, “Oh, saya sedang tidak sehat karena saya terkena homo sapiens.” Planet yang pertama kemudian berkata, “Saya turut bersimpati, itu memang buruk. Saya juga pernah memilikinya, tetapi jangan khawatir, masa itu akan berlalu.”
Lelucon ini merupakan kritik satir dalam teologi harapan yang diungkapkan Moltmann. Ia menunjukkan bahwa jika umat manusia tidak menjaga bumi, mereka akan menyebabkan kehancuran diri mereka sendiri. Atau sebaliknya, manusia akan belajar dari kesalahan dan akhirnya menjadi lebih bijaksana, memperbaiki kerusakan yang telah mereka timbulkan pada bumi.
Kritik Moltmann ini mencerminkan salah satu pendekatan teologi Kristen yang membahas hubungan dengan ekologi, yang dikenal sebagai ekoteologi. Istilah ini berasal dari dua kata: ‘ekologi’, yang mengacu pada studi lingkungan, dan ‘teologi’, yang merupakan kajian tentang hal-hal transendental atau ketuhanan. Ekoteologi didefinisikan sebagai hubungan antara agama dan alam, atau agama dengan lingkungan, dan menekankan keterkaitan antara krisis ekologis dengan prinsip-prinsip keagamaan.
Dalam konteks Kristen, hubungan ini bersifat timbal balik. Bukan hanya kekristenan yang berdampak pada krisis ekologis, tetapi krisis ekologis juga mempengaruhi cara Kristen menafsirkan peranannya dalam menjaga bumi. Elia Maggang menyatakan bahwa krisis ekologis memaksa kekristenan untuk memikirkan kembali perannya dalam mencegah dan memperbaiki krisis ini. Maka, tradisi Kristen perlu didekonstruksi dan direkonstruksi agar lebih ramah lingkungan. Ekoteologi, dalam hal ini, menjadi cara bagi kekristenan untuk memahami krisis ekologis secara kontekstual.
Robert P. Borrong mengidentifikasi tiga pandangan dalam teologi Kristen yang berdampak negatif terhadap krisis ekologis: desakralisasi alam yang memandang alam semata sebagai objek, antroposentrisme yang menganggap hubungan Allah hanya dengan manusia, dan dualisme yang merendahkan alam karena fokus pada dunia rohani.
John C. Simon, seorang teolog, menambahkan bahwa antroposentrisme ini melahirkan kapitalisme modern, di mana manusia menjadi homo economicus yang selalu merasa kurang dan berusaha menguasai alam sebagai sarana memuaskan kebutuhan ekonomi.
Teolog Asia, Raimon Panikkar, mencatat bahwa modernisasi kapitalis menghilangkan kesadaran agama yang ramah lingkungan, sementara Tissa Balasuriya menyebut fenomena ini sebagai imperialisme global yang memarjinalkan kaum miskin dan menghancurkan ekologi. Buce Ranboki, teolog asal NTT, menilai istilah ‘pembangunan berkelanjutan’ sebagai terminologi yang kontradiktif, karena seringkali membawa lebih banyak penderitaan ekologis dan ekonomi.
Dalam konteks Papua, penelitian di Kais, Papua Barat Daya, menunjukkan bahwa proyek modernisasi seringkali memperkuat ketergantungan pada perusahaan, dengan masyarakat Papua ditempatkan sebagai klien dalam relasi patronase. Hal serupa ditemukan di Merauke, di mana privatisasi tanah telah menyebabkan perubahan kepemilikan tanah komunal menjadi individu, mengubah hubungan sosial yang berbasis budaya menjadi relasi produksi yang formal dan penuh ketidakadilan.
Ekoteologi pembebasan menekankan pentingnya hubungan timbal balik antara manusia, masyarakat, dan lingkungan. Menurut Leonardo Boff, manusia harus hidup dalam keseimbangan dengan alam sebagai komunitas ekosistem yang seimbang. Proyek kapitalis yang merusak alam telah memperparah kemiskinan dan memperkuat dominasi atas orang miskin dan alam.
Teolog Papua, Bernadus Wos Baru, menekankan bahwa bagi orang asli Papua, hutan dan tanah adat memiliki makna spiritual dan sosial yang dalam. Sementara Karel Phil Erari mengingatkan bahwa tanah adalah anugerah ilahi, bukan sekadar sumber daya untuk dieksploitasi. Konflik agraria di Papua adalah pelanggaran hak asasi manusia yang harus direspon oleh gereja dengan keberpihakan pada rakyat yang tertindas.
Paus Fransiskus, dalam ensiklik Laudato Si (2015), menyerukan pertobatan ekologis—pengakuan dosa manusia terhadap alam—sebagai cara untuk memperbaiki hubungan manusia dengan lingkungan. Pendidikan ekologis juga penting untuk membangun kesadaran sejak dini tentang pentingnya merawat bumi.
Praktik Sasi di Papua, yang awalnya merupakan ritual adat untuk menjaga kelestarian alam, telah diadopsi oleh gereja sebagai bentuk upaya menjaga alam sesuai dengan mandat ilahi. Gereja di Papua harus menghidupi nilai-nilai ekoteologi dalam pengajaran, liturgi, dan pelayanan sehari-hari.
Ekoteologi harus menjadi kampanye gereja di Papua, baik secara institusional maupun personal, untuk berjuang melestarikan alam. Gereja perlu memimpin perjuangan advokasi lingkungan, menjaga alam Papua, dan memperjuangkan keadilan bagi rakyat dan bumi Papua.