127 Orang di Kapela Yogonima Papua Masih Buta Huruf, Gereja Diharapkan Utamakan Pengembangan SDM
THE PAPUA TIMES
SORONG, PAPUA – Sebanyak 127 orang di Kapela Santo Yohanes Yogonima, Paroki Kristus Gembala Kita, Pugima, Dekenat Pegunungan Tengah, Keuskupan Jayapura, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan, masih belum bisa membaca dan menulis. Gereja diharapkan dapat lebih memprioritaskan pengembangan sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan.
Ketua Panitia, Jeremias Hisage, menyampaikan harapan besar umat Katolik di Yogonima agar Keuskupan Jayapura lebih serius dalam mengutamakan pembangunan SDM, terutama mengingat dari total 204 jiwa, 127 di antaranya masih buta aksara.
Jeremias menegaskan bahwa masalah pendidikan di Kapela Santo Yohanes Yogonima merupakan isu krusial yang membutuhkan perhatian mendesak demi masa depan anak-anak dan orang dewasa yang belum mengenal baca tulis.
“Permasalahan pendidikan ini telah diidentifikasi dalam seminar sehari dan diskusi kelompok terarah (FGD) yang berlangsung selama tiga hari, dari 4 hingga 6 Januari 2024,” jelasnya.
Kegiatan tersebut merupakan bagian dari perayaan pergantian tahun 2024 dengan tema “Membangun Gereja Manusia Mandiri.” Dalam FGD, dibahas berbagai aspek pastoral seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, budaya, perempuan, dan tanah adat. Isu pendidikan menjadi perhatian utama, meskipun gereja telah berdiri selama 20 tahun.
Jeremias juga menyampaikan bahwa masalah pendidikan serupa dialami kapela-kapela tetangga seperti Santo Lukas Lukaken, Santo Matias Wuroba, Santo Hironimus Helepalegem, Santo Thomas Siliwak, Santo Kornelius Kemisake, dan Santo Simon Sagesalo.
Menurut diskusi, keterpurukan pendidikan ini dimulai sejak penutupan Sekolah Dasar (SD) Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) pada tahun 1980-an. Kekurangan tenaga pengajar, fasilitas, dan biaya pendidikan menghambat pemenuhan hak dasar anak-anak terhadap pendidikan sejak usia dini.
Frengki Hisage, sekretaris panitia, menyoroti bahwa selama ini gereja lebih fokus pada pembangunan fisik, tetapi kurang memberi perhatian pada pembangunan manusia. Frengki berharap Gereja Katolik dapat memprioritaskan pengembangan SDM di masa mendatang.
Panitia pun mengajukan permohonan kepada Uskup Jayapura untuk membuka TK, SD, dan SMP berasrama di Kampung Yogonima serta menyediakan tenaga pengajar dan pembina asrama.
Sementara itu, Soleman Itlay, pemerhati pembangunan SDM, meminta Keuskupan Jayapura melalui YPPK segera terjun ke lapangan untuk mencari solusi atas masalah pendidikan di Kampung Yogonima, sekaligus mendorong kerja sama dengan pemerintah dalam mengatasi isu pendidikan ini.