PolitikSemua Kategori

LMA Nabire dan 6 Suku Besar Menolak Bergabung dengan Provinsi Papua Tengah

THE PAPUA TIMES

Sentani — Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Nabire bersama enam suku besar sebagai pemilik hak ulayat wilayah adat Nabire dengan tegas menyatakan sikap terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Provinsi Papua Tengah dan rencana penetapan Nabire sebagai ibu kota provinsi tersebut.

Salah satu poin utama dalam pernyataan sikap mereka adalah penolakan tegas terhadap rencana penggabungan Nabire dalam Provinsi Papua Tengah, yang sedang dibahas dalam RUU tentang tiga Daerah Otonomi Baru (DOB).

Saat ditemui oleh media di Abe pada Senin (27/6/22) sore, Kepala Suku Besar Kepulauan Moora, Donatus Sembor, yang diberi mandat untuk membacakan pernyataan sikap, menyampaikan beberapa poin penting:

  1. Mendukung Kabupaten Mimika sebagai ibu kota Provinsi Papua Tengah.
  2. Menolak penetapan Nabire sebagai ibu kota Provinsi Papua Tengah.
  3. Menolak penggabungan Nabire ke dalam wilayah Provinsi Papua Tengah dan menegaskan bahwa Nabire tetap berada di Provinsi Papua (provinsi induk).
  4. Meminta Asosiasi Bupati Meepago agar tidak memaksakan Nabire masuk dalam wilayah Provinsi Papua Tengah.
  5. Meminta Panja RUU DPR RI Papua Tengah agar memperhatikan dan mengakomodir pernyataan sikap ini.
  6. Mendukung pemekaran provinsi berdasarkan tujuh wilayah adat, seperti yang disampaikan Gubernur Papua.

Pernyataan tersebut ditandatangani oleh Donatus Sembor, Kepala Suku Besar Yaua Saul Waiwowi, Kepala Suku Napan Yusup Sayori, Ketua Aliansi Masyarakat Pesisir dan Kepulauan Nabire Hendrik Andoi, Ketua LMA Nabire Sokrates Sayori, Ketua Pemuda Adat Wilayah Saireri II Ali Kabiay, dan Sekretaris Ikatan Kerukunan Masyarakat Adat Nabire di Jayapura Edwardo Rumatrai.

Setelah membacakan pernyataan, Ketua LMA Nabire, Sokrates Sayori, menegaskan bahwa penolakan mereka untuk bergabung dalam Provinsi Papua Tengah merupakan langkah untuk mempertahankan identitas masyarakat adat Nabire.

“Kami menolak karena secara budaya, kami bukan bagian dari Meepago, tetapi dari Saireri. Ini bisa dilihat dari perbedaan pakaian tradisional, di mana saudara-saudara di Meepago memakai koteka, sementara kami menggunakan cawat,” jelasnya.

Sokrates menambahkan bahwa Nabire, secara kultur, lebih tepat berada di Provinsi Papua atau provinsi induk karena termasuk dalam wilayah adat Saireri.

Sejalan dengan Sokrates, Kepala Suku Besar Yaua, Saul Waimoi, mengungkapkan bahwa masyarakat adat di Nabire selama ini sering merasa dianaktirikan, baik dalam pembangunan maupun dalam pengembangan eksistensi adat.

“Oleh karena itu, kami lebih memilih tetap berada di provinsi induk, yakni Provinsi Papua, agar pembangunan yang merata bisa kami rasakan,” kata Saul.

Ia juga berharap agar Asosiasi Bupati Meepago tidak lagi memaksakan Nabire masuk dalam Provinsi Papua Tengah dan meminta Panja Komisi II DPR RI untuk memperhatikan pernyataan sikap ini.

Ketua Pemuda Adat Wilayah Saireri II, Ali Kabiay, juga menyatakan penolakannya terhadap rencana menjadikan Nabire sebagai ibu kota Provinsi Papua Tengah, dan mendukung Kabupaten Mimika sebagai ibu kota.

“Kami mendukung Mimika karena fasilitas di sana sudah lengkap, terutama setelah PON yang telah membangun banyak infrastruktur penunjang,” ujar Ali.

Menurut Ali, jika ibu kota ditetapkan di Nabire, pembangunan harus dimulai dari awal, yang akan memakan waktu lama. Infrastruktur di Nabire masih terbatas dan akan membutuhkan banyak sumber daya untuk melengkapinya. Dari aspek fiskal, Ali menambahkan bahwa negara perlu mempertimbangkan biaya yang tinggi jika Nabire dipaksakan menjadi ibu kota, sementara saat ini negara sedang berupaya memperbaiki kondisi fiskalnya.

“Karena itu, lebih baik jika ibu kota Papua Tengah ditetapkan di Timika,” tutupnya.

Berita Lainnya

Back to top button