Hal yang Perlu Dikritisi dari Sikap Bung Karno terhadap Papua
THE PAPUA TIMES
Jika referendum diadakan di seluruh wilayah Republik Indonesia hari ini, apakah setiap provinsi akan tetap setia pada republik? Tak ada yang bisa memastikan.
Republik ini ibarat sebuah konsep yang bisa runtuh kapan saja.
Dua puluh tahun yang lalu, dalam sebuah diskusi yang diadakan Kompas bersama lembaga Friedrich Ebert Stiftung, Romo Mangun menyampaikan prediksi yang mengejutkan. “Republik Indonesia Serikat (RIS) akan terbentuk kembali paling lambat tahun 2045. Itu tergantung pada generasi muda. Jika mereka aktif di tahun 2028, dan jika kita yang lebih tua mendukung pada 2008, kita tak perlu menunggu hingga 1999, tetapi pada abad ke-21 kita akan melihat RIS,” katanya.
Pandangan ini berakar dari Bung Hatta. Pada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai (10-11 Juli 1945, Risalah Sidang dalam A.B. Kusuma, 2004), Bung Hatta merupakan salah satu pendukung bentuk negara federasi. Ada dua kelompok penganjur bentuk negara federasi: kubu bondstaat (negara serikat) dan statenbond (perserikatan negara). Bung Hatta berada di kubu kedua, berlawanan dengan kubu unitaris yang mendukung negara persatuan, seperti Bung Karno dan M. Yamin.
Bung Hatta dengan konsep statenbond juga mengusulkan agar wilayah Indonesia hanya mencakup Hindia Belanda, berbeda dengan kubu unitaris yang menginginkan Indonesia meliputi Hindia Belanda, Malaya, Borneo Utara, Papua, dan Timor. Salah satu wilayah yang menjadi perdebatan sengit dalam sidang adalah Papua.
Menurut Bung Hatta, upaya memasukkan Papua ke dalam wilayah Indonesia mencerminkan ambisi “imperialis.” Papua adalah bangsa Melanesia, katanya, sehingga tidak ada dasar etnologi atau hak untuk mengambilnya. Hatta percaya bahwa keputusan mengenai nasib Papua harus dikembalikan kepada rakyatnya, seperti halnya dengan Malaka dan Timor, apakah mereka ingin bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri.
Namun, pandangan Bung Hatta langsung ditolak oleh Bung Karno. Bung Karno berargumen bahwa sejak zaman Majapahit, Papua sudah merupakan bagian dari wilayah Indonesia. Dengan semangat yang berkobar, Bung Karno menyatakan bahwa rakyat Papua belum menyadari keinginan mereka sendiri dan tidak mampu berpikir politik. Oleh karena itu, menurutnya, tidak ada “batasan moral” untuk menjadikan Papua bagian dari Indonesia.
Nasihat dari tokoh lain, seperti Soetardjo dan Agus Salim, yang menyarankan agar pembahasan Papua ditunda, tidak dihiraukan. Dalam pemungutan suara, mayoritas anggota sidang memilih bentuk republik dengan wilayah mencakup Hindia Belanda, Malaya, Borneo Utara, Papua, dan Timor.
Kini, 74 tahun kemudian, Timor Timur telah merdeka, dan begitu pula Malaya. Indonesia hanya berhasil mempertahankan Borneo Utara dan Papua, meskipun Papua terus bergejolak sejak pelaksanaan Pepera yang kontroversial 50 tahun lalu.
Ketika Papua kembali memanas akibat insiden rasisme di Surabaya dan Malang, banyak yang menyebut bahwa hanya Gus Dur yang benar-benar memahami Papua. Namun, itu mungkin berlebihan. Di era kepresidenan Gus Dur, Kongres Rakyat Papua II berhasil digelar, tapi hasilnya mengejutkan Gus Dur, karena kongres tersebut menuntut pemerintahan de facto dan menyatakan bahwa Papua tidak pernah menjadi bagian dari NKRI.
Skenario Gus Dur gagal, dan kerusuhan pecah, menyebabkan 26 orang meninggal di Wamena. Gus Dur kecewa dan memutuskan bahwa bendera bintang kejora adalah lambang separatisme, bukan lagi sekadar simbol kebudayaan. Militer pun dikerahkan untuk menangani persoalan ini.
Sembilan belas tahun setelah keputusan itu, pemerintahan Jokowi masih mengandalkan militer untuk mengatasi kerusuhan di Papua. Namun, persoalan Papua tampaknya terlupakan seiring berjalannya waktu.
Saya pernah mengatakan kepada seorang teman yang sangat mengidolakan Bung Karno, bahwa banyak orang mengagumi Bung Karno tanpa melihat kekeliruan dalam pemikirannya. Terkait Papua, Bung Karno telah mengabaikan nasihat rekan-rekannya, seperti Bung Hatta. Ironisnya, Soeharto kemudian membuang banyak gagasan baik dari Bung Karno. Gus Dur mungkin ingin memutus rantai permasalahan ini, namun bukan melalui referendum.
Setiap kali teman saya membela Bung Karno dan memuji Gus Dur, saya teringat Bung Hatta. Pemikiran Bung Hatta, yang ingin Papua menentukan nasibnya sendiri, tampaknya lebih sesuai dengan realitas. Gagasan federasi yang pernah diusulkannya mungkin menjadi solusi bagi masalah disintegrasi yang selalu mengancam republik ini.